Sahabat Anabel, banyak orang yang salah menyangka bahwa anak-anak yang bersekolah di sekolah Islam, pesantren atau dididik dengan nilai-nilai Islam yang kuat akan tumbuh jadi anak-anak yang serius, garing dan kaku. Padahal, justru Rasulullah Saw sendiri telah mencontohkan bagaimana mendidik anak, istri hingga cucunya dengan aktivitas permainan yang menyenangkan mereka, melembutkan hati mereka dan membuka pemikiran mereka.
Tengok saja kejadian di mana pada suatu hari, Hasan dan Husain naik ke punggung Rasulullah Saw dan menjadikan beliau seolah-olah kuda tunggangan. Seorang sahabat yang melewatinya berkata: Sebaik-baik kendaraan adalah yang kalian naiki. Rasul tersenyum seraya menambahkan perkataan; dan sebaik-baik pengendara adalah kedua cucuku ini.
Adanya kisah bermain kuda tunggang ini, bukankah Rasulullah telah mengajarkan Hasan dan Husain persoalan kasih sayang, kemauan berbagi sekaligus melatih aktivitas motorik mereka?
Begitu pula saat Rasulullah mendapati Aisyah bermain-main dengan boneka kuda dan menggerak-gerakkanya di udara seolah terbang. Rasul tidak melarangnya bahkan mengajukan pada Aisyah pertanyaan terbuka yang memancing kreasi: Bukankah itu kuda, wahai Aisyah? Bagaimana ia dapat terbang? Maka, Aisyah yang saat itu masih belia dan merasa mendapat tanggapan positif, tanpa rasa ragu menjawab: Ini kan kuda Nabi Sulaiman. Ia bersayap dan karena itu dia dapat terbang. Rasul tidak menolak atau mecemooh jawaban itu. Beliau bahkan tertawa mendengar imajinasi kreasi Aisyah.
Betapa pentingnya hak bermain bagi anak di dalam Islam, hingga para ulama bahkan bersepakat menyatakan fase kanak-kanak usia 0 hingga 7 tahun sebagai fase mulaabah-fase bermain. Pada usia ini, anak memang diprioritaskan agar merasa enjoy, merasa senang jiwanya, lewat aktivitas-aktivitas bermain. Di atas usia 7 sampai 14 tahun, barulah anak diajarkan etika dan adab. Di atas usia 14 tahun, anak sudah dapat diajak bersosialisasi, melebur ke tengah masyarakat.
Selain itu, aktivitas bermain tetap harus dipentingkan, diseimbangkan dengan tugas, kewajiban atau pendidikan yang diberikan orang tua pada anak meski mereka sudah melewati fase mulaabah.
Harapannya, anak yang kebutuhan bermainnya, kebutuhan refreshingnyaterpenuhi, tentu akan lebih mudah diarahkan dan memiliki pemahaman soal tujuan hidup, tugas-tugas bahkan kewajiban-kewajiban dunia akhiratnya. Hal itu karena saat diberi pemahaman, pengertian, disosialisasikan dengan nilai-nilai dia dalam kondisi enjoy, siap menerima.
Pentingnya bersikap tawazun pada dunia serius namun santainya anak, bisa pula menjadi sarana meringankan beban orang tua, sehingga bila suatu saat harus melepas anak ke tengah lingkungan yang bermacam-macam tarikannya, orang tua tak lagi khawatir. Penyebabnya karena anak sudah memiliki pemahaman yang kuat, bukan sekadar pengetahuan akan mana hal yang haram dan yang halal dalam hidup ini, dan pemahaman yang kuat ini hanya bisa didapat dari mereka yang menerima nilai-nilai kebaikan dengan penuh kesadaran dan rasa senang, tanpa keterpaksaan atau tekanan.
Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar